Friday 7 November 2014

Kasus sengketa sepeda motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma

Pendahuluan

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kota, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan satu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis. Jika merek itu suatu alat untuk membedakan benda yang satu dengan benda yang lain sejenis. Jika merek itu suatu alat untuk membedakan benda yang satu terhadap benda lain yang sejenis, maka nama perniagaan adalah alat untuk membedakan perusahaan yang satu terhadap yang lain.
Merek itu ada dua macam yaitu merek pabrik yaitu merek yang dilekatkan pada barang oleh si pembuatnya (pabrik). Sedangkan merek perniagaan (handelsmerk, trade mark), adalah merek yang dilekatkan pada barang oleh pengusaha perniagaan yang mengedarkan barang itu.
Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Merek menurut UU. No. 15 tahun 2001 tentang merek dibedakan menjadi:
1) Merek dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang dipergunakan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa lainnya pasal 1 ayat (2)).
2) Merek jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang dipergunakan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya (pasal 1 ayat (3)).
3) Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya (pasal 1 ayat 94)).
                Jenis-jenis merek berdasarkan Undang-undang Merek tahun 2001 ada mengatur jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam pasal 1 butir 2 dan 3 UU Merek Tahun 2001 yaitu merek dagang dan merek jasa. Bentuk atau wujud merek itu dimaksudkan untuk membedakannya dari barang sejenis milik orang lain. Oleh karena adanya pembedaan itu, maka terdapat beberapa jenis merek yakni:
1) Merek lukisan (beel mark)
2) Merek kata (word mark)
3) Merek bentuk (form mark)
4) Merek bunyi-bunyian (Klink mark)
5) Merek judul (title mark)
Beliau berpendapat bahwa jenis merek yang paling baik untuk Indonesia adalah merek lukisan. Adapun jenis merek lainnya, terutama merek kata dan merek judul kurang tepat untuk Indonesia, mengingat bahwa abjad Indonesia tidak mengenal beberapa huruf ph, sh. Dalam hal ini merek kata dapat juga justru menyesatkan masyarakat, sebagai contoh: sphinx dapat ditulis secara phonetis (menurut pendengaran), menjadi “sfinks” atau “svinks”. Secara normatif undang-undang tidak mengharuskan menggunakan merek dengan jenis tertentu, hanya saja harus ada daya pembeda yang diwujudkan dengan:
1) Harus mudah dilihat (beel mark)
2) Merek tersebut harus mempunyai daya pembeda
3) Dapat digunakan secara kombinasi yang terdiri dari kata-kata, lukisan, warna, serta angka

Pembahasan

“Kasus sengketa sepeda motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma”

Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama antara Krisma dan Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma diproduksi oleh PT.Tossa Sakti, sedangkan Honda Karisma diproduksi oleh PT.Astra Honda Motor. PT.Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT.Astra Honda Motor (AHM), karena PT.AHM perusahaan yang mampu memproduksi 1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT.Tossa Sakti pada motor Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di Jakarta.

Permasalahan kasus ini tidak ada hubungan dengan pemroduksian, tetapi masalah penggunaan nama Karisma oleh PT.AHM. Sang pemilik merek dagang Krisma (Gunawan Chandra), mengajukan gugatan kepada PT.AHM atas merek tersebut ke jalur hukum. Menurut beliau, PT.AHM telah menggunakan merek tersebut dan tidak sesuai dengan yang terdaftar di Direktorat Merek Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Bahkan PT.AHM diduga telah menggunakan merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huru Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.AHM memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana.
Akhirnya permohonan Gunawan Chandra dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga Negeri.

Namun, PT.AHM tidak menerima keputusan dari hakim pengadilan, bahkan mengajukan keberatan melalui kasasi ke Mahkamah Agung. PT.AHM menuturkan bahwa sebelumnya Gunawan Chandra merupakan pihak ketiga atas merek tersebut. Bahkan, beliau menjiplak nama Krisma dari PT.AHM (Karisma) untuk sepeda motornya. Setelah mendapat teguran, beliau membuat surat pernyataan yang berisikan permintaan maaf dan pencabutan merek Krisma untuk tidak digunakan kembali, namun kenyataannya sampai saat ini beliau menggunakan merek tersebut.

Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT.Tossa Sakti (Gunawan Chandra) memenangkan kasus ini, sedangkan pihak PT.AHM merasa kecewa karena pihak pengadilan tidak mempertimbangkan atas tuturan yang disampaikan. Ternyata dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT.AHM, yaitu masalah desain huruf pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut tidak dilindungi hukum.


Dari kasus tersebut, PT.AHM dikenakan pasal 61 dan 63 Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang merek sebagai sarana penyelundupan hukum. Sengketa terhadap merek ini terjadi dari tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2011, hal ini menyebabkan penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen. Kini, PT.AHM telah mencabut merek Karisma tersebut dan menggantikan dengan desain baru yaitu Honda Supra X dengan bentuk hampir serupa dengan Honda Karisma.

0 comments:

Post a Comment